gagal lagi

This slideshow requires JavaScript.

Jakarta – Sebetulnya bukan kejutan. Terlebih di SEA Games. Indonesia lebih banyak gagal ketimbang berhasil. Realistis saja. Lebih dari satu dekade, timnas kita sudah menjadi bayang-bayang Thailand, Vietnam, Singapura dan sekarang Malaysia. Tidak lagi mendominasi.

Timnas selalu terlihat meyakinkan di awal. Seperti ketika Egi Melgiansyah dkk. melaju dari Grup A Sepakbola SEA Games 2011. Tapi itu tidak cukup karena diperlukan juga “bagus” di akhir. Hal itu juga dialami timnas senior asuhan Alfred Riedl di AFF 2010 lalu.

Terus terang, tim U23 saat ini hanya bagus dari sisi kegarangan serangan. Mungkin terbaik dari seluruh angkatan timnas Indonesia yang pernah saya tahu. Titus Bonai dan Patrich Wanggai punya naluri mencetak gol yang bagus. Sama seperti para pemain muda asal Papua lainnya. Begitu juga Boas Solossa ketika masih U23. Bisa jadi karena asahan tangan coach Rahmad Darmawan.

Tapi itu tidak cukup.

Indonesia belum bermain bola dengan benar. Maksudnya dengan pakem sepakbola yang semestinya. Bagaimana cara bertahan man to man dan zonal. Bagaimana pemain harus selalu berada di titik tertentu dalam situasi kehilangan bola. Bagaimana bergerak seirama saat kawannya tengah menguasai bola. Bagaimana pemain harus menjaga jarak dengan temannya tidak lebih dari 5 meter. Bagaimana berusaha merebut bola dari lawan, bagaimana membayangi lawan dan bagaimana-bagaimana lainnya.

Pendeknya, banyak pemain Indonesia yang belum paham bagaimana organisasi permainan sepakbola dijalankan. Padahal itu sangat mendasar. Karena setelah itu baru masuk dalam pembicaraan tahap lanjutan seperti skill individu, penggemblengan fisik, taktik dan strategi. Bermain sepakbola yang katanya simpel itu bukan hanya soal menendang, menyundul dan berlari.

Banyak pendukung Indonesia menilai tim U23 saat ini bagus. Lebih bagus dari seniornya. Mungkin saja. Tapi apa ukuran terminologi “bagus”? Apakah hanya karena menang atas Kamboja, Singapura yang 10 pemain dan Thailand yang 9 pemain? Kalau itu parameternya, tentu saja terlalu dini untuk menyebut “bagus”. Atau jangan-jangan itulah level bagus bagi Indonesia. Dan kemudian mentok ketika bertemu lawan yang lebih bagus dan bermain sesuai pakem sepakbola universal.

Indonesia menang dalam 3 pertandingan awal karena lawannya kalah “garang” plus kemudian kehilangan pemain di sisa waktu. Tapi tanda bahwa Indonesia belum “bagus” bisa dilihat kala melawan Thailand di babak grup. Dengan 9 pemain, Thailand masih bisa menyerang sampai kotak penalti Indonesia. Itu berkat organisasi permainan yang sudah sesuai pakem. Lihat saja bagaimana bola lontaran dari area belakang Indonesia selalu bisa jatuh di kaki pemain Thailand. Karena Thailand menampatkan pemain-pemainnya di titik tertentu di mana bola akan lebih sering jatuh di sana.

Tak usah melihat bagaimana lapisan kedua U23 kita dibuat tak berdaya oleh Malaysia 1-0 di babak grup. Dengan gamblang kita bisa melihat lapisan pertama U23, ya Egi dan rekan-rekannya kemarin malam, juga dibuat kesulitan menciptakan gol ke gawang Malaysia. Determinasinya kurang matang. Bahkan pertahanan kita lebih sering kocar kacir saat Malaysia menyerang. Itu sebuah bukti para pemain belum memiliki pemahaman organisasi pertahanan yang seharusnya dilakukan.

Padahal kekuatan serangan Malaysia tidak lebih hebat dari Indonesia. Para pemainnya hanya perlu mencari tempat kosong supaya bisa mendapat bola dari kawannya. Entah bola silang mendatar atau terobosan. Malaysia U23 adalah tim dengan pola permainan defensif. Setidaknya mereka lebih suka menunggu bola dari pada aktif merebut bola lawan.

Banyak pengandaian lain dari pertandingan kemarin malam. Andai Patrich tidak individual, andai fisik lebih mumpuni dan andai andai lainnya.

Tetapi persoalannya, sekali lagi, bukan di situ.

Skuad U23 Indonesia rata-rata pemain cadangan di klubnya. Jam terbang kurang. Bahkan yang jam terbangnya banyak pun (baca: senior) tidak mendapat asupan organisasi permainan yang bagus dari pelatihnya di klub. Semua serba sporadis. Kita belum bicara fisik dan stamina yang sebenarnya tanggung jawab klub pula. Belum juga membahas skill bermain mereka yang “rusak” karena wasit di kompetisi Indonesia juga tidak kompeten menjalankan tugasnya.

Kelemahan lain dari timnas U23 kita adalah miskinnya improvisasi mereka. Aliran bola selalu terkesan “dipaksakan”. Ketika mentok, lebih suka mengeksekusi sendiri. Berlama-lama menguasai bola di saat sudah ditekan oleh tiga pemain lawan. Mereka lupa bahwa mereka bukan Lionel Messi yang punya skill ajaib. Mereka alpa bahwa ada rekannya yang berdiri bebas menanti bola.

Belum lagi kebiasaan pemain Indonesia yang menerapkan umpan jauh dan direct. Itu memang kebisaan dan kebiasaan mereka. Bahkan di saat pelatih tidak meminta timnya memainkan itu. Ini bukti bahwa pemain kita miskin improvisasi karena terkebiri kompetisi.

Tapi ini juga bukan salah pemain semata. Kembali, ini muara kesalahan klub dan kompetisi di Indonesia yang tidak jelas wujudnya.

Indonesia akan sulit berprestasi jika masih mengandalkan pembinaan sporadis tanpa perencanaan dan kurikulum yang matang didasari analisa kelayakan. Di saat sepakbola Indonesia masih dikelola tanpa program yang jelas, lupakan saja soal juara di level Asean.

Namun apa boleh bikin, timnas tetap harus ada selama Indonesia masih berdiri. Upaya harus tetap dilakukan. Masyarakat tetap memberi dukungan membakar semangat. Tetapi pengelola jangan lupakan mengupayakan kompetisi yang layak.

Runyamnya, sangat sulit berharap kompetisi akan layak dan sehat ketika PSSI dan anggotanya (klub) justru tidak berpikir soal itu kecuali hanya bagi-bagi harta dan politik oligarki. Padahal timnas adalah muara kompetisi yang sehat dan konsisten.

Kegagalan timnas U23 bukan kesalahan pemain dan staf pelatih. Mereka sudah berjuang, bahkan melebihi kapasitasnya. Mereka gagal karena kesalahan kolektif yang terakumulasi. Malangnya, ini akut.

Leave a comment